Cinta bisa berarti kesedihan
maka
daripada terus menanggung malu karenanya
lebih baik
bangkit dan mengutarakannya.
THIS MY OWN PERSONAL POETRY WHEN I INSPIRED BY LOVE YOU MAY COPY IT BUT PLEASE RESPECT MY RIGHTS.. THANK YOU
Cinta bisa berarti kesedihan
maka
daripada terus menanggung malu karenanya
lebih baik
bangkit dan mengutarakannya.
Viii
Semuanya berawal dari sini, tidak pernah aku sedekat ini dengan kenyataan, walaupun harus ku bayar dengan rasa kecewa yang besar dan begitu banyak penyesalan. Dihadapanku ia menghancurkan seluruh harapan yang susah payah aku bangun
Sebenarnya aku sendiri membangun tembok pemisah, telah ku langkahi dan ku hancurkan itu, tetapi aku temui tembok lebih besar, dia sendiri kini yang membangunnya.
Dia sendiri yang membangun pemisah itu, melebihi kemampuanku, hanya utuk mengatasi tinggi dirinya, dia kembali menjadi yang ku benci.
Tak bisa ku tunggu lagi, aku pergi, ku tutup lembar dirimu, akan ku penuhi janjiku karena aku tahu tak mungkin kau penuhi janjimu menantiku.
Sekarang ku penuhi janjiku, “ aku tetap benci kamu.”
Vii
Semuanya berawal dari sini, aku mencintainya apapun dirinya, tak perduli betapa banyak waktu membentuk gambaran petik raut wajahnya, mengangkat sepi diantara hari, aku bosan, untuk maju aku tak punya harapan.
Aku tidak tahu berap banyak waktu untuk memikirkan dan bertidak melaksanakan segala keinginan, begitu cepat aku terjatuh dalam asmara gelap, sakit sekali jatuh sendiri, tidak ada yang membantu memapahku di bahu kiriku, memelukku dariku sudut igaku.
Aku harus sadar dan bidadari hanya betah bermain di khayangan diantara taman – taman indah dan selalu ceria tak pernah sekali juga merana.
“engkau diri cantik yang tak bisa terputus dari sedikitpun bahagia. Saat langit membiru, kaulah mentari yang menerangi. Aku ingin melihat bintang jatuh, untukku itu penggati dirimu indah dan hanya sementara singgah di pengelihatanku.”
“aku waktu yang menemanimu, aku indah yang bisa menemanimu, kenangan yang menggaris di torehan ingatanmu, aku mimpi yang bisa kau ajak menyatu.”
Tetapi, semuanya puisi, aku hancur dalam diriku, tak bisa kukatakan aku punya hati, bisakah kuminta nafasku yang dulu kepada Sang Pencipta, aku ingin kembali walau untuk mengenalnya, adai aku bisa, akan ku buat Semuanya Berawal Dari Sini.
Adai aku mampu, namun hidup tak selamanya mudah, banyak derita dan cobaan yang akan ku lalui, itu akan membuatku tegar, menjadi kuat berdiri, menopang redup duniaku.
Kau tak pernah ingin ku genggam erat jearimu
Kau tak pernah ingin ku dekap dekat pundakmu
Kau juga tak pernah mengijinkanku mengisi senggangmu denganku
Tapi ku tak pernah ignin melepas pandanganku dari matamu
Dana aku tak pernah ingin menjadi orang bodoh yang kehilanganmua
Suatu saat aku akan hadir disebelah tanganmu
Membawamu jauh ke dalam bahagiaku
Dan disana kau bebas tertawa, semaumu, semuanya
Sampai kau mampu beruah
Aku menanti dan mencari dirimu yag dulu.
Untuk selanjutnya
Aku tetap benci kamu.
Semuanya tak terbayar lewat masa depan
Yang akan berjalan
Tinggal kenangan hal ini jadinya
Sedikit perjumpaan lebih baik
Daripada cibiran dan selamat tinggal
Cobalah jujur bahwa kau berubah tak ku suka
Kau selalu angkuh dalam langkah
Selalu angkuh ketika kau berdiri
Mencoba meraih gelar yang tak kau perlu
Hanya agar semua memperhatikanmu
Sebagai sosok berkharisma
Dan patutu dicintai
Tetapi aku kesal
Aku suka kau pendiam
Agar bisa ku manja
Dengan keterbatasanku
Kau terima
Vi
Semuanya berawal dari sini, menata kembali haru mengganti tirai – tirai kusam wajahku, tidak nampak lagi bagiku gumpalan kekesalan dan merah pitamku, sesaat dirinya mempesonaku, aku rindu.
Untuk segala nilai yang dia tampakkan, aku beri penghargaan yang terdalam dengan seluruh pernyataan dia terindah seperti nafas dunia yang tak tampak di kasat mata.
Kali ini, aku tak mau ragu lagi walau waktu selalu sedikit merayu,
“ tinggalkan keseharaianmu, aku menyertaimu dengan hal baru.”, tetapi kupikir semua itu hanya sayu.
Kulihat lagi mataya menatap sungkan di pinggiran sudut kayu, dia membuang muka atau malu, memang aku tidak pantas aginya, aku peras dunia untuk diriku tetapi dia basahi kering duniaku dahulu.
“untuk namamu aku memohon, miliki aku apa adanya, meski aku pahit, aku akan selalu berusaha manis untukmu.”
Semuanya tak terbayang, tak terayang untukku, semuanya. Aku mengharap anugerah bahwa segala perasaan yang aku puji terhadapnya adalah benar selalu, suatu hari aku tunjukkan nilai dirinya bagi hidupku, begitu berarti.
Meski malam telah larut aku ingin tetap memandanginya dari bayanganku sediri, tidak ku tahu meski sedih sendiri, menunggu dan menanti, mengharap dirinya berada di sini.
V
Ternyata langit selalu kelabu membawa ungu hanya dari kata – kata kaku. Aku tidak tahu mengapa awan selalu saling beradu agar halilintar menyatu dan air berpadu dalam rintik hujan yang merdu.
Walaupun jauh nafasku dengannya, berbatas bilangan yang tak berbilang, berujung hentakan hati yang gelisah, meminta dunia menampik kehidupan.
Aku atau dia yang kasar, melantunkan klausa dengan nada – nada besar, sumbang terdengar dan tak enak dikenang.
Aku tahu rasanya dicintai orang yang tak ku cintai, aku tahu bagaimana rasanya membagi hati dengan pengingkaran, menjauhi mimpi meratapi ambisi yang kian tak terkendali.
Tatapan orang – orang curiga lebih buruk daripada hardikan penguasa, penipu selalu meminta tanpa ingin berusaha, esok aku akan coba jujur mengatakan cinta yang untukku selalu berarti nestapa.
“ bagaimana hatimu bila yang kau harapkan mengecewakan ?”
Aku tidak tahu selain sesak dan kesal, aku mau marah dan menghantam apa yang menghadang.
Hari ini saat aku berkata, “sebentar, aku kecewa !”.
Jika cahaya bisa menyalakan mimpi makhluk yang terlelao, pasti dunia sudah terang dengan manusia – manusia penuh tawa.
Tetapi selalu semuanya terpendar menjadi beba, bubar, buyar, hambar menjadi semua tanda tanya, tak pasti.
Iv
Optimisku hilang karena waktu tidak lagi memberi kesempatan kepadaku menatapnya dan kesempatan untukku berbuat sombong padanya, untuk segala perasaan yang aku miliki aku tidak berharap bulan jatuh kepangkuanku, meski hanya sinarnya, aku tetap bahagia, karena rinduku akan selalu ada.
Aku ingat perkataan seorang pujangga dalam lembar yang pernah ku baca
“dialah terakhir kuucap sebelum aku terlelap, dialah juga pertama ku sebut setelah aku terjaga.”
Sungguh indah, teramat indah.
Dan bilamana tiada lagi bisa aku menatapnya, biarlah aku menyatukan kehendak dengannya, membiarkan dia bebas bersinar untuk siapapun tanpa harus bingung atau malu, sehingga aku pun tidak kesal menatap indah bayangnya di tepi telaga ditemani sepi dan gelap malam sendiri.
III
Semuanya berawal dari sini, aku selalu jalani lagi hari – hari melanjutkan keinginan, mewujudkan mimpi yang sempat tertunda, aku mulai hari ini mewarnai pikiran dengan hitam, warna yang aku suka dan juga berarti aku bingung harus memulai dari mana.
Sebentar aku terdiam memikirkan bagaimana nanti, apa yang harus aku jalani, bayangan sang rembulan hadir dan mulai mempengaruhi saraf bahagiaku, tak apa, aku hanya sedikit tempat untukku, tetapi aku malu, aku seorang laki – laki dan aku lebih daripada dia.
Tiba – tiba saja dia dihadapanku berjalan beriring, tetapi sekali lagi aku segan menatap atau menyapa,
Aku mendahuluinya, ia menatapku sejenak, namun sebentar aku seudah berada di depannya, aku tak tahu lagi, kurasa ia hanya menunduk, ternyata aku gagal menyentuh hatinya.
Terkadang aku berpikir untuk menjadi anak sombong, introvert dihadapannya, biar dia melihatku dan berpikir tentangku kemudian aku bisa menaruh sedikit pengharapan di celah tanda tanyanya.
Dahulu seorang pernah berkata agar aku tidak menunda – nunda waktu melakukan pekerjaan, itu juga yang sering aku laksanakan, tetapi sekarang, sejak aku lihat tatapan matanya dihadapanku dan senyum indahnya yang malu – malu, aku tersipu, aku heran mengapa ingatanku selalu pada rembulanku. Untuk hatiku aku akan memenuhi diriku seagai ciptaan yang diiringi kausalitas cinta. Biar aku hidup dalam lamunanku untuk saat ini, biar puas segala rasa, hingga sampai waktuku untuk sadar, aku juga puas menangisi apa yang aku dapatkan.
II
Semuanya berawal dari sini, gelap malam sering membuatku takut karena aku sendiri, bintang hanya gantungan cahaya dalam hitam dan angin hanya tiupan pembawa dingin. Semakin lama semakin sulit menghadapi hidup sendiri.
Kalau hanya sendiri tanpa harapan aku sudah terbiasa, tetapi gelap, larut, diam. Aku malu untuk berharap apapun, siapapun.
I
Semuanya berawal dari sini, sudut pandangnya membuatku memikirkan tujuan dia diciptakan. Walaupun aku tidak mengerti apa yang ada di hati dan pikirannya, hanya saja, saat itu aku mau ia memandangku, suatu hal yang tidak mungkin terjadi, menurutku.
Sebuah ketidaksengajaan rupanaya membangun jembatan bagiku ke matanya, saat tangannya di tanganku dan terwujud keinginanku menyebutkan nama ini.
Tapi pengaruhnya yang mulai menguasaiku membuat mataku malu menatapnya lama, walau ia bersedia, entah malu atau terpaksa.
Senyumnya indah lebih dari yang ku kira, mungkin akan terjadi untuk kedua kalinya, nanti. Aku menunggunya.
Sebuah ketidaksengajaan lain membawaku dekat padanya, kami berhadapan dibatasi meja bujur sangkar bersama teman – teman yang membuat ketidaksengajaan ini semakin lancar. Ketidaksengajaan ini yang sebenarnya aku harapkan dari tadi, aku tunggu biar semakin bahagia hati ini, aku seperti tidak perduli malu lagi. Tetapi tetap saja tidak mampu ku tatap wajahnya karena semuanya akan tertawa dan pasti malu akan tiba.
Matanya kembali berkaca, aku segan menatapnya, walau ingin sekali kupandangi indahnya, sampai aku tertidur dan kemudian bermimpi meraih hatinya dan tanpa malu menaruhnya sebagai belaian jiwa.
Tanpa dirinya hati ini sunyi, masalah yang aku hadapi semakin menyentuh rasa kesal, aku menangis di atas sajadah hijau yang selalu bersamaku sejak kecil, untuk mengemis kepada sang pencipta agar dia mengangkatku dan aku bisa memandang segala masalah ini sebagai hal yang tidak berarti daripada cintanya padaku.
Aku ingin semuanya kembali, asalkan aku tidak kembali kepada mimpi yang selalu membuatku malas bermain dalam kenyataan yang dewasa dan bisa diterima.
Ternyata rindu seperti air besar yang terhalang, semakin besar terhalang, memaksa keluar dan berusaha memenuhi takdirnya. Seperti juga aku, akulah air itu, memaksa melepaskan kenyataan agar hatiku tidak terus mengembang menahan rindu.
Hanya untuk dirinya aku merasa seperti ini, tidak sakit namun menyiksa, membuat pikiranku bersendawa karena semuanya beban yang hampa. Mulai nanti aku akan terus berkaca dalam jiwa seperti matanya yang malu – malu menatap.
Tiada perasaan lain kecuali keingintahuaan tentang dirinya yang menjadi satu dalam binar wajah rembulan yang berbayang di sela wajahnya. Indah cahayanya yang jatuh, menerangi sepi – sepi, kalaupun ia tetutup kabut, aku pasti menanti karena segala sesuatu akan terlihat sebagaimana adanya.
Bulanku tidak akan sombong karena aku tahu walaupun ia tinggi, ia selalu membagi indahnya dibayangan telaga, dimana aku sering terdiam sampai sepi berganti atau bercanda dengan cahayanya sendiri.
Semata hanya kepada sang maha pencipta semuanya akan kembali, tiada daya upaya kecuali darinya yang telah memberikan semua yang terbaik kepada hambanya
“sang maha pencipta”
Kepada dia yang telah menaruh kegembiraan kepada manusia yang mengharapkan cintanya,
Memberi pengetahuan tentang kesengsaraan jika seseorang menampikkan kecintaannya yang abadi.
Kepada kekasihnya yang ia jadikan kecintaan di seluruh alam sebagai contoh bagi makhluknya yang begitu besar kecintaannya pada ummatnya,
Kepada hamba yang mengajarkan pengajaran dari sang maha pencipta kepada seluruh ummat di akhir peradaban yang akan sesaat lamanya.
Kepada yang telah mengisi hati ini walau mungkin hanya untuk sesaat, hanya membayang menjandikan aku buih dalam riak percikan gelombangnya.
Untuk seseorang yang belum bisa ku terka dimana ia melempar segala suka dan hanya bisa kupastikan padanya diriku bukan siapa – siapa, bukan juga orang patut dibanggakan karena aku tak punya apa – apa.
Meski banyak ku tahu kisah lamanya
Bersama orang lain yang mungkin juga mencintainya.
Aku tak perduli
Karena sejak saat itu dialah mutiaraku
Tak perduli betapa nista orang lain menganggapnya
Atas apa yang ia lakukan dahulu
Tak perduli betapa lacur kisah lampau yang pernah membalut kisah di setiap harinya secara sengaja atau tidak bersama dengan yang lain saat dulu.
Bukan semua itu yang ku perlu
Lagipula ,mutiara tetaplah mutiara
Tak akan jatuh nilainya
Walau diambil dari tumpukan sampah
Mulai detik itu yang kubutuh setianya
Mungkinkah ia setia menanti ?
Karena penantiannya bukanlah penantian seorang hawa
Cukup penantian seorang biasa.
Hinakah aku memiliki cinta yang begitu besar terhadapmu ?
Maka
Muliakah dirimu yang menutup – nutupi cinta itu hingga ia mati dalam hatimu ?
Hanya lembaran kosong yang tersisa
Tidak ada yang lain
Cukup banyak waktu menunjukkan mimpi
Tetapi tak semuanya berarti
Tak pernah bisa aku pahami
Apa yang akan aku tuai
Saat semuanya berawal dari sini
Hanya bisa kujalani waktu
Dan tak mungkin akan kembali
Aku persembahkan segala rasa yang pernah hadir dalam sekat hatiku
Dan mungkin tidak akan terbayar lewat masa depanku
Semuanya
Berawal
Dari
sini
Sebuah alur yang merangkai puisi menjadi untaian cerita dan janji hidupku
Ternyata dirimu beku
Abadi dan tak terjarak waktu
Membuatku jauh dari tapakmu
Menghilangkan segala rasa yang eresap
Ternyata dirimu sembilu
Menyayatku dan aku terluka kini
Tetapi kau hanya menancapkan mata
Pada sudut di ruang bahagia
Tak perlu aku tahu lagi
Apa yang nampak gembira untukmu
Tak perlu aku gelisah
Tentang apa kau berduka
Karena aku tak mungkin perduli atasmu
Dirimu Cuma fatamorgana
Kau selipkan itu hingga aku membayang
Menutupi panas dalam dinginnya dirimu
Kau lupa retorika yang bernyawa
Sampai sat ini aku mengaku,
“ ku cinta kau yang dahulu.”
Memandang malas tetapi tak ragu
Kubenci tapi kuridu
Semuanya tak terbayar lewat masa depan
Yang akan berjalan
Tinggal kenangan hal ini jadinya
Sedikit perjumpaan lebih baik
Daripada cibiran dan selamat tinggal
Cobalah jujur bahwa kau berubah tak ku suka
Kau selalu angkuh dalam langkah
Selalu angkuh ketika kau berdiri
Mencoba meraih gelar yang tak kau perlu
Hanya agar semua memperhatikanmu
Sebagai sosok berkharisma
Dan patut dicintai
Tetapi aku kesal
Aku suka kau pendiam
Agar bisa ku manja
Dengan keterbatasanku
Kau terima
Suatu saat aku akan hadir disebelah tanganmu
Membawamu jauh ke dalam bahagiaku
Dan disana kau bebas tertawa, semaumu, semuanya
Sampai kau mampu berubah
Aku menanti dan mencari dirimu yag dulu.
Untuk selanjutnya
Aku tetap benci kamu.
Suatu hari,
Mimpiku yang akan bernaung
di singgasana cintamu.
Dan cintamu
adalah tiara anggun melebihi mahkota
untuk ku jaga.
sampai akhirnya aku
pada hari yang ternyata
saat kita saling berkata
selamat tinggal
seiring magrib
hujan rintik
hingga aku tak perlu menangis
suasana berkaca dari hatiku
aku tak tega meneteskan air mata
aku tetap ingin melihatmu bahagia
di hari yang mungkin terakhir aku boleh bercanda
sekelumit sebelum hilang sisa tawa
dan tiada sudi senyum bibirku
sekali meski
memang ternyata,
saat itu kita saling berkata
“sudahlah, selamat tinggal…”.
Memulikimu, aku kaya
Ku cium engkau dengan sahaja
Ingin ku tawarkan engkau mahlingai bencana
Ku pinamg dengan giwang prahara
Ku kagumi citra bidadarimu selaksa sebuah kata
Ingin ku berikan padamu permata dunia tetapi yang ada debu setia
Ku miliki seluruh dirimu dan ku dapatkan kepemilikan hartamu
Ku akui tak sedikit pun parasmu mempesonaku
Karena tak pernah ku pandangi engkau lewat kedua mata
Cukup ku tahu engkau putrid bermahkota
sehingga
memilikimu aku kaya
Kau lentikkan jemarimu
dalam punggung tanganmu
Kau berbasuh tetasan embun pagi
Kau tebarkan wangi parfum priyayi
Kau membuat semua orang terpana
Ketika kau melangkah dengan caramu
jika kau memang punya hati
Ingin ku satukan hatiku denganmu
Kita akan bicara dari hari
Memandang dari hati
Tertawa dari hati
Dan semuanya jika kau punya hati.
Inspirasiku,
Saat ku pejamkan mataku,
Ku dapat memanggil ingatan kenanganku padamu.
Saat dingin dan kutengadahkan kedua tanganku,
Namamu tak terhempas.
Kau patahkan bulan sabit dan menutup mega – mega biru.
Saat candamu mencobai hasrat,
Lemah lah aku.
Dan ku sentuh lembut hatimu bersama ketidakberdayaanku.
Ingin sekali aku menemuinya
Membuktikan padanya bahwa cinta tak selalu duka
Mungkin ia terbaik dari seluruh harap
Seperti jua pilu yang ia sirat ke dahi
Oh…para pujangga
Bantulah aku,
bantulah harapku menariknya kembali
Membuatnya mengerti, menahannya pergi
Dan kembali mengingat diriku
Karena aku sudah setengah gila….
Ingin ku cari dan ku temui engkau
Lima tahun terlampau dan berlalu
Yang tersimpan di hatiku tetap beku
Karenamu, hatiku turut keras tapi membatu
Tiada tersisa menarik untukku
Semata tawamu bukan lagi milikku
Aku berjalan ke kotamu
Mencoba bertemu dengan senyummu
Atau sekedar menangkap kenanganmu
Waktu tak jua membuatku melupakanmu
Tak juga tiap sentuhanmu diwajahku
Entah, apakah surat ini akan sampai
untuk kau baca
Aku hanya ingat,
betapa rindu memelukku begitu erat
Tak mau begitu saja lepas
Tak mau meninggalkanku sendiri
Ketika ingatanku tertuju padamu,
aku hanya ingin memasrahkan hati
merasakan betapa pedih melekat begitu pekat
Tak hendak begitu saja habis
Tak hendak membiarkanku disini
Apakah hati kita sudah terjalin
Hingga tangisanku adalah sedih hatimu
Dan tangismu adalah gundah jiwaku
Apakah ini rahasia tuhan untuk kita berdua
Sebenarnya,
aku tak pernah bosan berdoa
Berharap suatu saat
kau kembali ada
Seperti dulu,
Masa – masa indah itu
Saat kau benarkan,
berjalan mengiringimu adalah casanova di hatiku
Dan melihatmu, memperhatikanmu,
Memandangmu tersenyum adalah purnama lengkap.
tak bisakah perasaan tulus ini genap,
Bersanding dengan cita – cita kau dan aku
Yang menjadi satu dan melebur menjadi kita.
Bersatu, memeluk hatimu,
merengkuh khasanahmu yang misteri
Memuliakan hari – harimu dengan segenap sikapku.
Akankah semua impianku jadi
Terangkum dalam bait puisi hidupku
Mengantar mataku menuju tidur nyeyak
Yang tak lagi kurasakan selama ini
Mengistirahatkan perasaan
Agar,
tak lagi guncang,
tak lagi menghilang
Merasa tersakiti dan mengasihani diri sendiri
Mungkin aku tak pantas memohon untuk semua ini
Aku hanya ingin kau tahu
Ketika aku kehilangan bintang penunjuk arah
Saat tersesat di atas samudra,
Maka selamanya aku akan terus terombang – ambing dan goyah
Hingga kehausan dan kelaparan memaksaku menyerah.
Tak lama
Akan kubiarkan gelombang lautan menjadi kafanku
Dan samudra luas menjadi taman pekuburanku
Ketika itu hanya kau yang ku ingin
Dan hanya kau yang ku rasa
Mungkin juga hasrat ini menghantarku menjadi gila
Dan dunia adalah pelengkap derita
Semoga engkau peduli
Semoga masih tersisa sedikit ingatanmu tentang mimpi kita
Semoga masih tersisa rasa yang membuatmu selalu ingin didekatku,
merengkuhmu
Walau kesadaranku jauh, teramat jauh
Sekedar mengharapmu kembali
Engkau memang tak terlalu mempesonaku
Tapi engkaulah yang bertanggung jawab penuh
Atas kerinduan di hatiku.
Aku tak paham
Karena keinginan untuk selalu bersama
Kau telah membuatku menunggu
Ataukah sekedar rindu yang memelukku sepi
Kau yang bertahta di hatiku
Berikan ku damai yang menghindar berlalu
Adakah hati cukup berarti
Untuk membuatmu kembali
Aku ingin membuatmu dekat,
Membuatmu merasa
Bahwa kau adalah bagian diriku.
Aku tak ingin kau pergi
karena pasti membuatku merasa sendiri
Di atas sepi ini, aku adalah elang yang melayang mengitari.
Jelas atau terlihat, aku tetap hilang tak terbayang,
aku maya.
Hadirku hanya menimpakan derita.
Hati ku lah yang telah memaksakan kehendaknya,
Namun ia menjadi saksi atas kedustaan mata.
Saat cintanya menghampiri,
Aku menantinya setuus hati, apapun dirinya
Sebelum ku tahu cinta itu,
Membentur hati yang sepi.
Aku pernah menantinya,
Meminta restu pada semua orang yang juga mencintaimu
Aku dekatnya, hanya benalu,
Dia bosan, dia berlalu.
Ada hal yang tak bias terbayar lewat masa depanku,
Saat ini ku ingin tuntaskan semuanya,
Karena waktu tak mungkin kembali.
Keindahan, belum pernah ku lihat.
Jika disana ada bintang yang menghilang
Mataku berpendar mencari bintang yang datang.
Pasti aku mengingatnya
Pertemuan setiap hari yang selalu ku harapkan
Apa saja yang akan ia katakan
Ku tunggu ia bicara dengan dewasa
Tapi
Sungguh
Semua yang ku rasakan di hati
Hanya dengannya akan ku bagi.
Dalam dua senja engkau datang
menjulang segala harap yang
seharusnya telah sirna
memberiku harap dan sejuta tanya
aku tak ingin memaksa
memiliki dirimu utuh
aku ingin menunggu dan
membuatmu menjadi belahan jiwa
Aku ingin kau mengerti
Sesuatu yang datang dari hati
Pasti sampai ke hati
Aku juga ingin kau merasa
Dimanapun kau ingin
menghamparkan segala rasa
terima kasih,
kau tak sengaja menjelma jadi cassanova jingga
untuk mata hatiku yang terlanjur buta
aku sadar
bahwa senyumku tak cukup mengajakmu
terpana atau sekedar rela bercanda
tapi
jangan dulu kau marah
untuk lancang kata hatiku ini
yang membuatku terpesona
adalah kecantikan hatimu yang meredupkan
merah bulan sabit di lazuardi pelupuk mata
aku tak kuasa memaksamu jadi milikku atau siapapun
karena aku telah tak mampu
dan mungkin inilah kata terakhir yang ku tulis atas namamu,
dariku.
Apakah tawanya hilang
Atau bertambah mekar ?
Apakah kini dirinya damai
Atau bertambah kacau ?
Apakah terbangun lagi sekat pemisah
Atau ia menarik yang lain menggantikan ku ?
Apakah semua harap terkabul
Atau curigaku tak betul ?
Apakah dia terus berkaca
Dan ada aku disebelah bayangannya ?
Apakah pernah sekali jua ia rindu
Atau melupakanku seebetas nama ?
Apakah mimpi terajut kembali oleh tangan lembutnya
Atau tercampak begitu saja, berdebu ?
Apakah selalu ada esok
Dan lusa dapat kembali, walau sekali, hanya sekali ?
Apakah selalu ada “apakah” di kemudian hari
Dan aku masih saja bodoh, tak
rela, tak ikhlas melepasnya ?
Sepertinya, hati begitu berarti menyentuh warnamu, warna yang engkau pilihkan untuk ku lihat, untuk kau gunakan menyangkal permintaanku. Terlalu gelapkah itu ?
Aku melihat senyum bunga pagi merekah dari halus wajahmu, aku terkesima lama, kemudian terlena. Ingin ku temukan engkau di hatimu, menapak miring jalan berbatu, terjal dan sulit seperti katamu.
Aku tak bangga dapat menatapmu, karena malam – malam gelapku juga dimulai saat itu, malam sendiri, merancang sedikit demi sedikit bentuk jembatan untuk menyebrangkanku menuju gerbang besar hatimu, mengetahui khasanahmu yang tersimpan di baliknya.
Dalam dua senja engkau menjelma jadi ratu dalam pandangan mataku dan tak bisa lagi aku meneruskan langsung tatapan lurus menuju.
Hamba sahaya ini begitu takut mengakui dan menyebut namamu,
Cukup dalam hati.
Tapi tak berharap diriku, membuang rasa yang mulai tumbuh, karena indahmu seperti cahaya bagi si buta yang menyedihkan.
Hanya suara, gesekan dan harum jubahmu berhak aku sentuh dan seketika udara jadi sahabat sampaikan jawaban tanda tanyaku.
Wahai engkau yang terus memburu nafaasku ?
Tegakah engkau merintis kemiskinan dan kesengsaraan bagi si fakir ini ?
Tak bisa ku persembahkan apapun untuk menarik dan menyambutmu, hanya kata – kata yang tak akan sampai untuk menjelaskan rasa sepihak yang mulai terus meluap seketika panah pengharapan terlesat menepis indahmu.
Biarlah aku kaku asal tak menyakitimu,
Hatimu terlalu halus untuk aku paksakan, terlalu bengkok untuk langsung aku luruskan tapi biarkan siang menyimpan semua keinginanku dan malam menyembunyikan mimpi yang hanya hadir dalam keinginan itu dan waktu akan menyimpan atau membuang segalanya saat engkau dan aku ada atau tiada.
Ketika pagi tiba, aku ingin juga menyambutmu, menghamparkan cahaya menembus sela – sela dirimu dan ku kagumi.
Dan ketika fajar mulai berganti siang, ingin sekali aku berubah jadi penangkap tubuhmu dan melindungi langkahmu dari terik dan debu.
Dalam hati, selalu aku bertaya,
Ketika perasaan seperti ini tumbuh dalam hati manusia, apakah selalu ada jalan atau jembatan yang mampu menghantarkan maksud sang pecinta kepada pujaannya.
Seperti dosa yang terlanjur terlaksana, adakah penentram hati yang dapat menyejukkan pendosa bilamana ia tidak pernah tahu dosanya diampuni.
Dan sekali lagi, aku hanya tersenyum, hanya satu yang dapat ku pikirkan untuk itu, tetapi berharap dengan segala ketulusan kepada Sang Maha Pencipta, walaupun dinding hati terlalu terliputi dosa, akan ada ketulusan yang perlahan menawarkan semuanya.
Aku tak akan tahu, apakah engkau mengerti ?
Fajar, senja, berjuta gemintang dan bulat purnama seakan tak lagi kuindahkan semata pesonamu telah mengurungku dalam tubuhku sendiri, tak bisa aku melawan apalagi berlari.
Tapi tak juga aku sanggup berlari menuju dirimu, membuatmu menghamparkan segala rasa dan harap untuk untuk si fakir yang celaka ini.
Engkau telah merebut malam – malam dari hak orang lelah ini,
Apakah begitu dalam engkau menusukkan tatapan mata dan aku terluka kini ?
Aku sendiri kini meratapi segala sepi dan mimpi menjadi haru bagai tanda mata bunga kamboja untuk peziarah dunia.
Berharap segala yang telah kau benamkan dalam hatiku menjadi nyata ketika kau juga tersenyum mengulurkan kedua tanganmu.
Menjadi kelu segalanya, ketika tak ku dengar lagi dawai senja mengalun mendamaikan perindu ini.
Menemani aku si pemimpi.
Siapak ah engkau yang telah merampas kesadaranku,
Darimanakah engkau berasal yang telah menghilangkan kesadaranku, hingga tak ku tahu, untuk apa dan siapa aku berada.
Kurasa, menjelmalah engkau jadi mega – mega biru, tinggi.
Jika benar hati adalah tempatnya cinta, akan ku hamparkan hatiku seluas samudera, hingga sungai – sungai rindu dan kasih sayang mengaliri mesra muaranya.
Tapi jika hati tempatnya benci, akan ku kobarkan bara di hatiku, hingga benci menguap jadi awan gelap untuk terus berputar, hingga jenuh dan seketika turun darinya rintik – rintik sejuk maaf dan kerelaan.
“Bulan sabit……..??”
“kupanggil engkau, semata engkau tanda kebesaranNya ”
“ engkau menghias awal, hari indah pujangga hina,
pujangga merana, pujangga layu.“
“bertahun, dibawah redup sinarmu kunyanyikan lagu sendu,
“Sesendu hitam lengkung maya dalam lingkaranmu
yang belum penuh.”
“dan disanalah ruang untuk duka ku, takkan pernah habis
terisi gundah
juga tanya…”
”tapi tetap saja engkau bukan milikku, bulan sabit sendu...”
Apa yang aku cari ?
Sebuah pengorbanan atau rekaan angan.
Padamu, aku ingin terus berlari,
Menghampiri syahdu harimu yang lugu namun dibalut kecewa.
Aku ingin bersatu jadi rangkaianmu,
Mengiring hasratmu jadi segalanya.
Akankah engkau mengaitku ?
Tapi tak bisa ku persembahkan permata,
Hanya ada debu setia.
Asal ku tak memulai dusta,
Aku bukanlah musuh hatimu yang suci dan mulia.
Hanya saja, tak patut aku mengotori singgasana cintamu
Karena tangan kotorku.
Hanya purnama jadi sahabat pelipur lara-ku,
Seorang pemendam rindu.
Bidadari pun pasti malu andai tahu
Betapa mempesonanya engkau untukku.
Apa salahnya dengan menunggu ?
seperti malam, terasa gelap namun menampilkan rahasia paling kelam yang disembunyikan oleh siang.
Seperti pelangi yang hadir seusai badai,
seperti arang yang diam dan berubah jadi intan.
Kau benar, cinta sungguh berbeda dari nafsu. Karena nafsu, aku hanya memanggilmu sekali dan ketika aku jemu, ku tinggal jasadmu jauh dibawah mimpi.
Namun,
Karena cinta, tiada henti aku ingin memuliakanmu, memanggil indah namamu dalam ingatanku, menanti dan hari – hariku tak pernah palsu, bukan sekedar mencumbui parasmu atau membakar hasratmu tetapi perlahan ku coba sentuh hatimu dan tak ingin kau patah.
Semoga suatu hari kau tahu
aku selalu menunggu dan selalu
ketika aku mulai ragu
aku akan ingat
senja tak membunuhku di pantai itu