other poets

cari puisi mu

Google
 

22 Feb 2008

CHAPTER 1

I

Semuanya berawal dari sini, sudut pandangnya membuatku memikirkan tujuan dia diciptakan. Walaupun aku tidak mengerti apa yang ada di hati dan pikirannya, hanya saja, saat itu aku mau ia memandangku, suatu hal yang tidak mungkin terjadi, menurutku.

Sebuah ketidaksengajaan rupanaya membangun jembatan bagiku ke matanya, saat tangannya di tanganku dan terwujud keinginanku menyebutkan nama ini.

Tapi pengaruhnya yang mulai menguasaiku membuat mataku malu menatapnya lama, walau ia bersedia, entah malu atau terpaksa.

Senyumnya indah lebih dari yang ku kira, mungkin akan terjadi untuk kedua kalinya, nanti. Aku menunggunya.

Sebuah ketidaksengajaan lain membawaku dekat padanya, kami berhadapan dibatasi meja bujur sangkar bersama teman – teman yang membuat ketidaksengajaan ini semakin lancar. Ketidaksengajaan ini yang sebenarnya aku harapkan dari tadi, aku tunggu biar semakin bahagia hati ini, aku seperti tidak perduli malu lagi. Tetapi tetap saja tidak mampu ku tatap wajahnya karena semuanya akan tertawa dan pasti malu akan tiba.

Matanya kembali berkaca, aku segan menatapnya, walau ingin sekali kupandangi indahnya, sampai aku tertidur dan kemudian bermimpi meraih hatinya dan tanpa malu menaruhnya sebagai belaian jiwa.

Tanpa dirinya hati ini sunyi, masalah yang aku hadapi semakin menyentuh rasa kesal, aku menangis di atas sajadah hijau yang selalu bersamaku sejak kecil, untuk mengemis kepada sang pencipta agar dia mengangkatku dan aku bisa memandang segala masalah ini sebagai hal yang tidak berarti daripada cintanya padaku.

Aku ingin semuanya kembali, asalkan aku tidak kembali kepada mimpi yang selalu membuatku malas bermain dalam kenyataan yang dewasa dan bisa diterima.

Ternyata rindu seperti air besar yang terhalang, semakin besar terhalang, memaksa keluar dan berusaha memenuhi takdirnya. Seperti juga aku, akulah air itu, memaksa melepaskan kenyataan agar hatiku tidak terus mengembang menahan rindu.

Hanya untuk dirinya aku merasa seperti ini, tidak sakit namun menyiksa, membuat pikiranku bersendawa karena semuanya beban yang hampa. Mulai nanti aku akan terus berkaca dalam jiwa seperti matanya yang malu – malu menatap.

Tiada perasaan lain kecuali keingintahuaan tentang dirinya yang menjadi satu dalam binar wajah rembulan yang berbayang di sela wajahnya. Indah cahayanya yang jatuh, menerangi sepi – sepi, kalaupun ia tetutup kabut, aku pasti menanti karena segala sesuatu akan terlihat sebagaimana adanya.

Bulanku tidak akan sombong karena aku tahu walaupun ia tinggi, ia selalu membagi indahnya dibayangan telaga, dimana aku sering terdiam sampai sepi berganti atau bercanda dengan cahayanya sendiri.

No comments: